Sabtu, 20 Juli 2013

APAKAH ISLAM MEMPERBOLEHKAN AZIMAT ?


Dalam kitab Ath-Thib An-Nabawi Ibnu Qayim Al-Jauziyah menukil sebuah hadits dari Ziad bin ‘Alaqah, dari Usamah bin Syarik radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata: Aku pernah berada di samping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu datanglah serombongan Arab dusun. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat?” Beliau menjawab: “Iya, wahai para hamba Allah, berobatlah. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya: “Penyakit apa itu?” Beliau menjawab: “Penyakit karena tua.”
(HR. Ahmad dlm al-Musnad)

Ilmu agama islam sangat luas dan terdiri tingkatan syariat, hakekat sampai makrifat. Wajar saja, apabila ada perbedaan pendapat mengenai berbagai hukum dalam agama islam mengenahi pengobatan dan lainnya. Termasuk perbedaan pendapat mengenai hukum berobat dengan memakai azimat.

Sebagian kelompok islam melarang penggunaan azimat dengan alasannya tersendiri. Di sisi lain, banyak ulama besar memperbolehkan penggunaan azimat dengan catatan jimat hanya dianggap sebagai sarana dalam berusaha, bukan penentu segalanya.....

Jadi ada dua pendapat di sini, ada yang memperbolehkan dan ada yang tidak. Kedua pendapat tersebut sama-sama didukung oleh ulama yang dihormati. Setiap pendapat punya dalil masing-masing. Selanjutnya, terserah Anda mau meyakini yang mana. Karena keyakinan Anda adalah hak asasi Anda. Yang penting, kita bisa saling menghormati keyakinan orang lain.


Azimat hanyalah salah satu cara diantara sekian banyak cara untuk mendapatkan berkah. Jika Anda tidak ingin menggunakan azimat, mungkin Amalan Ilmu Hikmah lebih cocok untuk Anda. Orang bilang “Banyak jalan menuju roma”, banyak cara untuk mencapai tujuan yang sama. Jangan menganggap azimat secara berlebihan seolah-olah ini satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan Anda. Banyak orang memilih menggunakan azimat karena cara ini dinilai lebih praktis dibanding cara-cara lainnya.

Jimat atau azimat dalam bahasa Arab disebut dengan tamimah (penyempurna). Makna tamimah adalah setiap benda yang digantungkan di leher atau selainnya untuk melindungi diri, menolak bala, menangkal penyakit ‘ain [Penyakit yang punya kekuatan membunuh yang muncul dari pandangan mata] dan dari bahan apa pun. (Lisanul Arab 12/69). Dan dalam perkembangannya, yang dimaksud azimat adalah segala benda yang diyakini memiliki berkah untuk tujuan-tujuan tertentu.


Sebagian orang berpendapat bahwa azimat adalah syirik dengan mengambil dasar hadits shahih riwayat Ahmad berikut:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

“Sesungguhnya ruqyah (suwuk, jampe2), jimat dan pengasihan adalah syirik.” (HR. Ahmad)

Banyak orang yang tidak paham hadits, menelan mentah-mentah hadits tersebut dan mengatakan (dengan ketidaktahuannya) bahwa semua ruqyah dan jimat adalah syirik. Padahal yang dimaksud hadits tersebut tidak demikian.


Dalam ilmu hadits, untuk bisa memahami hadits, kita harus memahami sejarah munculnya hadits tersebut. Sehingga kita bisa mengambil kesimpulan yang tepat. Sayangnya, banyak orang yang merasa pintar berdalil padahal dia hanya membaca hadis terjemahan dan kemudian mengambil kesimpulan sendiri.

Imam al-Munawi menjelaskan, menggunakan ruqyah (kecuali yang syar’iyyah), jimat dan pelet (pengasihan) dianggap syirik sebagaimana dalam redaksi hadits, karena hal-hal di atas yang dikenal di zaman Rasulallah sama dengan yang dikenal pada zaman jahiliyah yaitu ruqyah (yang tidak syar’iyyah), jimat dan pengasihan yang mengandung syirik. Atau dalam hadits, Rasulallah menganggap rukqah adalah syirik karena menggunakan barang-barang tersebut berarti pemakainya meyakini bahwa benda-benda itu mempunyai pengaruh (ta’tsir) yang bisa menjadikan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Imam Ath-Thayyibi menanggapi hadits tersebut bahwa yang dimaksudkan dengan syirik pada hadits di atas adalah apabila seseorang meyakini bahwa jimat tersebut mempunyai kekuatan dan bisa mempengaruhi (merubah sesuatu) dan itu jelas-jelas bertentangan dengan ke-tawakkal-an kepada Allah. [Faidhul Qadir 2/426]


Sedangkan wifiq adalah semacam jimat yang cara penulisannya dikembalikan pada kesesuaian hitungan dan dalam bentuk tertentu. Wifiq ini dapat bermanfaat untuk segala hajat, termasuk keselamatan, keberhakan dalam usaha, penyembuhan penyakit, memudahkan orang yang melahirkan dan lain-lain.

Di bagian lain al-Munawi menjelaskan bahwa pengguna jimat sama dengan melakukan pekerjaan ahli syirik apabila pengguna meyakini bahwa jimat tersebut dapat menolak takdirnya yang sudah tercatat.


Namun, jika jimat tersebut berupa asma atau kalam Allah atau dengan (tulisan berbentuk) dzikir Allah yang tujuannya untuk ber-tabarruk kepada Allah atau penjagaan diri serta tahu bahwa yang dapat memudahkan segala sesuatu adalah Allah maka hal itu tidak diharamkan. Pendapat ini disampaikan Ibnu Hajar yang dikutip oleh al-Munawi dalam Faidh al-Qadir. [Faidhul Qadir 6/223]


Sedangkan wifiq adalah semacam jimat yang cara penulisannya dikembalikan pada kesesuaian hitungan dan dalam bentuk tertentu. Wifiq ini dapat bermanfaat untuk segala hajat, termasuk keselamatan, keberhakan dalam usaha, penyembuhan penyakit, memudahkan orang yang melahirkan dan lain-lain.

Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawi Haditsiyyah-nya menjawab: hukum menggunakan wifiq tersebut adalah boleh jika digunakan untuk hal-hal yang diperbolehkan syari’at dan jika digunakan untuk melakukan hal haram maka hukumnya haram. Dan dengan ini, kita dapat menjawab pendapat al-Qarafi (ulama Malikiyyah murid ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam) yang menegaskan bahwa wifiq adalah termasuk bagian dari sihir. [Fatawi Haditsiyyah hlm. 2]


Di antara ulama Islam yang ahli dan berkecimpung secara langsung dengan pembuatan wifiq adalah Al-Ghazali. Bahkan Shohabat Abdurrohman bin auf RA. menulis huruf-huruf permulaan Al Qur`an dengan tujuan mnjaga harta benda agar aman, Imam sufyan al tsauri menuliskan untuk wanita yang akan melahirkn dan digantung didada , Ibnu Taimiyah Al Harrani menulis QS Hud. 44 didahi orang yang mimisan.

Mengamalkan doa-doa, hizib dan memakai azimat pada dasanya tidak lepas dari ikhtiar atau usaha seorang hamba, yang dilakukan dalam bentuk doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi sebenanya, membaca hizib, dan memakai azimat, tidak lebih sebagai salah satu bentuk doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat menganjurkan seorang hamba untuk berdoa kepada-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

اُدْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ

“Berdoalah kamu, niscaya Aku akan mengabulkannya untukmu”. (QS al-Mu’min: 60)


Ada beberapa dalil dari hadits Nabi yang menjelaskan kebolehan ini
, diantaranya adalah:

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأشْجَعِي، قَالَ:” كُنَّا نَرْقِيْ فِيْ الجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ

Dari Auf bin Malik al-Asja’i, ia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana pendapatmu (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, ”Coba tunjukkan azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di  dalamnya tidak terkandung kesyirikan.” (HR Muslim 4079).


عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرُّقَى فَجَاءَ آلُ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ : إِنَّهُ كَانَتْ عِنْدَنَا رُقْيَةٌ نَرْقِى بِهَا مِنَ الْعَقْرَبِ ، وَإِنَّكَ نَهَيْتَ عَنِ الرُّقَى. قَالَ : فَعَرَضُوهَا عَلَيْهِ. فَقَالَ « مَا أَرَى بَأْسًا مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَنْفَعْهُ»

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata:Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari segala ruqyah. Lalu keluarga ‘Amr bin Hazm datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu memiliki ruqyah yang kami pakai untuk meruqyah karena (sengatan) kalajengking. Tetapi engkau telah melarang dari semua ruqyah.” Mereka lalu menunjukkan ruqyah itu kepada beliau. Beliau bersabda: “Tidak mengapa, barangsiapa di antara kalian yang mampu memberi kemanfaatan bagi saudaranya, maka hendaknya dia lakukan.” (HR. Muslim no. 2199)

Dalam At-Thibb an-Nabawi, al-Hafizh al-Dzahabi menyitir sebuah hadits:
Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, ”Apabila salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya): Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, dari godaan syetan serta dari kedatangannya padaku. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut.”


Abdullah bin Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anak­anaknya yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan di lehernya.
(At-Thibb an-Nabawi, hal 167).

Dengan demikian, hizib atau azimat dapat dibenarkan dalam agama Islam.
Memang ada hadits yang secara tekstual mengindikasikan keharaman menggunakan azimat, misalnya:


عَنْ عَبْدِ اللهِ قاَلَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الرُّقًى وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَالَةَ شِرْكٌ

Dari Abdullah, ia berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “‘Sesungguhnya hizib, azimat dan pelet, adalah perbuatan syirik.” (HR Ahmad 3385).


Mengomentari hadits ini, Ibnu Hajar, salah seorang pakar ilmu hadits kenamaan, serta para ulama yang lain mengatakan: “Keharaman yang terdapat dalam hadits itu, atau hadits yang lain, adalah apabila yang digantungkan itu tidak mengandung Al-Qur’an atau yang semisalnya. Apabila yang digantungkan itu berupa dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka larangan itu tidak berlaku. Karena hal itu digunakan untuk mengambil barokah serta minta perlindungan dengan Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau dzikir kepada-Nya.” (Faidhul Qadir, juz 6 hal 180-181).

lnilah dasar kebolehan membuat dan menggunakan amalan, hizib serta azimat.
Karena itulah para ulama salaf semisal Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyyah juga membuat azimat.

A-Marruzi berkata, ”Seorang perempuan mengadu kepada Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal bahwa ia selalu gelisah apabila seorang diri di rumahnya. Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal menulis dengan tangannya sendiri, basmalah, surat al-Fatihah dan mu’awwidzatain (surat al-Falaq dan an-Nas).” Al-Marrudzi juga menceritakan tentang Abu Abdillah yang menulis untuk orang yang sakit panas, basmalah, bismillah wa billah wa Muthammad Rasulullah, QS. al-Anbiya: 69-70, Allahumma rabbi jibrila dst. Abu Dawud menceritakan, “Saya melihat azimat yang dibungkus kulit di leher anak Abi Abdillah yang masih kecil.” Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah menulis QS Hud: 44 di dahinya orang yang mimisan (keluar darah dati hidungnya), dst.” (Al-Adab asy-Syar’iyyah wal Minah al-Mar’iyyah, juz II hal 307-310).

Namun tidak semua doa-doa dan azimat dapat dibenarkan. Setidaknya, ada tiga ketentuan yang harus diperhatikan.
- Harus menggunakan Kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala, Sifat Allah, Asma Allah Subhanahu wa Ta’ala ataupun sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

- Menggunakan bahasa Arab ataupun bahasa lain yang dapat dipahami maknanya.

- Tertanam keyakinan bahwa azimat itu tidak dapat memberi pengaruh apapun, tapi (apa yang diinginkan dapat terwujud) hanya karena takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan doa dan azimat itu hanya sebagai salah satu sebab saja.” (Al-Ilaj bir-Ruqa minal Kitab was Sunnah, hal 82-83).

Jadi apakah islam memperbolehkan azimat? Menurut pendapat dari ulama besar yang kami ikuti perkataannya, bahwa islam memperbolehkan penggunaan azimat selama azimat tersebut sesuai dengan syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Meskipun demikian, keyakinan Anda adalah hak asasi Anda. Apabila Anda punya keyakinan lain, jangan paksakan diri untuk mengikuti keyakinan kami.

Wallahu a’lam bish-Shawab






2 komentar:

  1. tapi ada kok salah satu hadist yang merujuk pada ibnu taimiyah?
    padahala ibnu taimiyah adalah bukan rujukan aswaja

    BalasHapus
  2. HR Muslim 4079 kenapa kata ruqyah diganti azimat..... hadeuuuhhhhh g takut hari penghisaban kelak karena memalsukan hadist?

    BalasHapus